Senin, 11 Juni 2012

TRYPANOSOMA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Anggota dari genus Trypanosoma dengan satu perkecualian heteroksenosa dan ditularkan oleh invertebrate penghisap darah. Mereka dapat berbentuk amastigophora, Promastigophora, Epimastigophora dan Tripomastigophora dalam siklus hidupnya. Mereka terdapat pada semua kelas vertebrata. Mereka merupakan parasit dari system sirkulasi dan cairan jaringan, tetapi beberapa dapat menginfeksi sel. Sekitar 200 jenis telah diberi nama. Sebagian besar tidak pathogen, tetapi parasit yang terdapat pada ternak dan juga manusia. Genus Trypanosoma terdapat didaerah tropis, menyebabkan penyakit tidur di daerah Afrika Tengah, nagana pada ternak di Afrika, Surra pada ternak di Asia dan Afrika dan sejumlah penyakit lainnya pada ternak. Trypanosoma telah menghambat peningkatan ternak pada daratan seluas kurang lebih 4,5 juta acre di Afrika tengah dan merupakan penyebab utama dari Kwashiorkor yang disebabkan tidak cukupnya protein dalam makanan dari berjuta-juta anak di Afrika. Famili Trypanosomomatiadae hanya memiliki dua dari Sembilan genus.Anggota dari familia ini memiliki bentuk seperti daun atau kadang-kadang berbentuk bulat berisi satu inti. Mereka juga memiliki Golgi apparatus, lisosom, Retikulum Endoplasmik, Ribosom serta memiliki vesikula. BAB II PEMBAHSAN Mastigofora (Trypanosoma) Trypanosoma merupakan salah satu genus dari Hemoflagellata yang banyak terdapat dalam darah mamalia sebagai tripomostigot yang panjang. Jika dilihat dari spesies maka Trypanosoma yang menyebabkan penyakit pada manusia di bagi menjadi 3 golongan yaitu : Trypanosoma rhodesiense, Trypanosoma gambiense, Trypanosoma cruzi. Ketiga spesies ini tidak dapat dibedakan secara Morfologik tetapi berbeda secara Ekologik dan Epidemiologik. Penyakit yang disebabkan oleh ketiga spesies tersebut yaitu Tripanosomiasis tidak ditemukan di Indonesia. Trypanosoma merupakan flagellata darah yang hidup dalam darah dan jaringan hospes manusia. Dalam siklus hidupnya melibatkan serangga dan mamalia. Trypanosomiasis Afrika terbatas pada sabuk lalat (fly belt) tse tse di Afrika Tengah, dimana penyakit ini bertanggung jawab dari berbagai hambatan serius dalam perkembangan ekonomi dan sosial di Afrika. Dalam daerah ini, sebagian besar lalat tsetse lebih menyukai darah binatang, sehingga hal ini akan membatasi meningkatnya persediaan ternak. Lebih dari 35 juta rakyat mempunyai resiko terkena trypanosomiasis Afrika, yang disebabkan oleh Trypanosoma gambiense dan Trypanosoma rhodesiense (Gibson et.all,1980). Morfologi umum dari trypanosoma dan kritidia seperti berikut ini. Morfologi Trypanosoma mempunyai ukuran 14-33 x 1,5-3,5 µm (rata-rata 15-20 µm) Membran bergelombang terdapat pada seluruh tubuh, mempunyai 1 flagella pada ujung anterior, kinetoplas letaknya lebih ke posterior dekat axonema, letak nukleus di tengah-tengah atau sentral. Bentuk ini terdapat di dalam tuan rumah perantara maupun sebenarnya. Trypanosoma masuk didalam tuan rumah perantara pada waktu mengisap darah sebagai makanannya. Di dalam tubuh manusia Trypanosoma hidup ekstra sellul¬er di dalam darah, limfe dan cairan otak. Terdapat granula spesifik, tidak berwarna, bergerak aktif, berkembang biak membe¬lah memanjang, bila diwarnai dengan Giemsa atau Wright, inti akan ber¬warna merah udang, dan sitoplasma berwarna biru. Bentuk kritidia berukuran 15-20 µm (rata-rata 15 µm). Membran bergelombang terdapat pada bagian tubuh kean¬terior, kinetoplas letaknya lebih ketengah dengan axonema, letak nukleus di tengah-tengah, terdapat granula spesifik (seperti trypanosoma). Terdapat sebagai stadium sementara pada lalat Genus glossina untuk T.gambiense, T.rhodesiense, sedangkan untuk T.cruzi adalah serangga Genus triatoma. Berkembang biak membelah dua dan memanjang, dan di dalam kelenjar ludah lalat glossina tadi, kritidia tersebut mengalami metamorfose menjadi trypanosoma yang siap ditularkan. Ciri - Ciri Trypanosoma 1. Merupakan parasit didalam sistem sirkulasi dan jaringan 2. Terdapat pada semua vertebrata 3. Parasit pada ternak dan Manusia 4. Hidupnya didaerah tropis 5. Dapat menyebabkan penyakit tidur 6. Menyebabkan penyakit sura pada ternak 7. Menyebabkan penyakit Chagas pada manusia 8. Tidak pathogen pada burung, reptilia, amphibian ataupun pisces 9. Ditularkan melalui tinja maupun vektor 10. Memiliki bentuk seperti daun atau kadang-kadang berbentuk bulat berisi satu inti Anggota dari Genus Trypanosoma  Trypanosoma theileri Trypanosoma theileri terdapat dalam darah sapi diseluruh dunia. Prasit ini sangat umum, meskipun tidak selalu terlihat. Ia tidak begitu penting dalam praktek karena biasanya tidak pathogen, tetapi ini harus dibedakan dari Trypanosoma lainnya dalam biakan diagnostic. Biasanya relatife besar dengan panjang 35-70 mikron, tetapi panjang 12-120 mikron. Ujung posterior adalah panjang dan meruncing. Terdapat kinetoplas yang berukuran sedang berda didepan ujung posterior tersebut. Ditularkan melalui pencernaan tinja dari berbagai lalat tabanus. Parasit ini membiak dalam usus lalat itu secara pembelahan ganda.  Trypanosoma melophangium Terdapat didalam darah domba, merupakan hal yang sangat umum tetapi hanya membutuhkan sedikit perhatian karena tidak pathogen. Panjang 50-60 mikron. Vektornya adalah Malophagus ovinus. Parasit ini dapat ditularkan kepda domba dengan pencemaran tinja.  Trypanosoma lewisi Terdapat dalam darah tikus, ditularkan melalui pinjal. Tidak bersifat pathogen dan dikemukakan karena mereka merupakan subjek yang paling digemari untuk diteliti.  Trypanosoma rangeli Terdapat dalam daerah kucing, anjing, kera dan berbagai mamalia liar didaerah Amerika selatan dan Amerika Tengah. Mereka bersifat pathogen, ukurannya sangat besar dengan panjang 26-36 mikron. Organisme ini ditularkan melalui pencemaran tinja dari berbagai kutu pencium.  Trypanosoma cruzi Trypanosoma cruzi penyebab Chagas disease, dan merupakan penyakit zoonotic yang dapat ditularkan pada manusia oleh kecoa genus triatoma. Distribusi geograpis meliputi wilayah America dari Negara-negara amerika latin, seperti Argentina. kebanyakan menyerang masyarakat miskin di daerah pedesaan bagian tengah dan selatan Amerika. Pada Trypanosoma cruzi hospes reservoar selalu merupakan sumber infeksi dan vektor penularnya adalah Triatoma, di antaranya adalah Triatoma infestans, Rhodnius prolixus dan Panstrongyius megistus yang hidup disela–sela dinding rumah yang terbuat dari papan atau batu. Penyakit Chronic Chagas merupakan masalah kesehatan yang tinggi, karena banyak masalah yang terjadi di Negara-negara latin Amerika, dengan peningkatan kasus, perpindahan penduduk, dan penularan melalui transfusi darah merupakan penularan yang menjadi permasalahan tersendiri di Negara-negara Amerika Latin. Morfologi Morfologi Trypanosoma cruzi sulit dan hampir tidak dapat dibedakan dengan Trypanosoma gambiense dan Tryoanosoma rhodesiense . Pada Porte d’entree Stadium tripomastigot metasiklik dikelilingi oleh Makrofag dan kemudian masuk kedalamnya dan berubah menjadi stadium amastigot dan membelah. Banyak Makrofag yang diserang sehingga terbentuk suatu Granuloma (chagoma) yang dapat membendung aliran limfe. Bila hal ini terjadi pada kelopak mata pada salah satu mata (edema lenilateral) yang disebut gejala Romana’s sign. Siklus Hidup Melalui stadium promastigot dan epimastigot parasit ini masuk ke aliran darah dan berubah menjadi stadium tripomastigot kemudian terjadi parasitemia yang memberi gejala toksik. Parasit masuk ke alat–alat dalam yang mengandung sel RE sehingga menyebabkan terjadinya gejala splenomegali, hepatomegali dan limfate deropati, juga terjadi kelainan pada sumsum tulang karena penuh dengan parasit. Penderita sakit berat, demam dan sering ada gejala jantung sehingga penderita meninggal pada stadium akut ini. Hal ini biasanya terjadi pada anak, pada orang dewasa penyakitnya dapat menahun. Vektor triatoma yang infekstif (atau “kissing” bug) mengambil darah dan sekaligus mengeluarkan trypomastigotes dalam tinja. Trypomastigotes masuk dalam tubuh manusia melalui membrane mukosa, atau konjungtiva (1). Spesies tratoma yang biasanya menjadi vector di antaranya adalah, Rhodinius, and Panstrongylus. Masuk ke dalam tubuh host, trypomastigotes masuk dalam cells, dimana akan berubah menjadi amastigotes dalam sel (2). amastigotes memperbanyak diri dengan cara binary fission (3) berubah menjadi trypomastigotes, dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah (4). Trypomastigotes menginfek sel jaringan dan berubah bentuk pada intra sel menjadi amastigotes dan siap ditularkan. Manifestasi klinik terjadi dari siklus infeksi ini. Di saluran darah trypomastigotes tidak memperbanyak diri (berbeda dengan African trypanosomes). Memperbanyak diri terjadi ketika parasit masuk pada sel atau termakan bersama vector. Infeksi The “kissing” bug terjadi pada manusia atau darah binatang dalam proses sirkulasi (5). trypomastigotes berubah menjadi epimastigotes dalam lambung vektor setelah tertelan dari manusia (6). Parasit memperbanyak diri dan berubah bentuk di lambung vektor (7) dan berubah menjadi metacyclic trypomastigotes yang infektif dalam hindgut (8). Diagnosa Diagnosa dengan : (1) Menemukan parasit dalam darah pada waktu demam atau dalam biopsi kelenjar Limfe, Limpa, Hati dan sumsum tulang (stadium tripomastigot dan stadium amastigot). (2) Menemukan parasit pada pembiakan dalam medium N.N.N (stadium epimastigot). (3) Xenodiagnosis dengan percobaan serangga triatoma atau eimex. Ada beberapa uji Imunodiagnostik yang telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya zat anti terhadap Trypanosoma Gambiense antara lain : (1) Uji Aglutinasi Card (card aglutination test for trypanosomiasis atau CATT) yang banyak digunakan dilapangan. (2) ELISA untuk mendeteksi adanya Antigen Tropanosoma didalam serum dan cairan serebrospinalis. (3) Card Indirect Angglutination Test (CIAT) yang merupakan modifikasi ELISA dengan uji Aglutinasi Lateks. Reaksi anti Polimerase merupakan suatu cara yang cukup sensitif dan spesifik yang sedang dikembangkan untuk mendeteksi adanya DNA Tripanosoma didalam otak penderita yang meninggal akibat Ensefalopati pasca pengobatan serta DNA didalam kelenjar air liur dan lambung lalat tse – tse. Pencegahan Karena pengobatan efektif tidak ada maka penting untuk mengendalikan vektor dengan insektisida residuan dan pengrusakan habitat dan menghindarkan kontak dengan binatang sumber parasit. Penyakit Chagas yang terjadi di antara penduduk yang lingkungan ekonominya jelek, diperkirakan prevalensinya berjumlah 8.000.000 penduduk yang dihinggapi parasit ini dan banyak dari penduduk tersebut mempunyai gangguan jantung dan mengakibatkan harapan hidupnya berkurang.  Trypanosoma brucei Terdapat pada semua mamalia peliharaan dan terdapat juga pada ruminansia liar d Afrika Selatan. Bentuk langsing, buntak, rata-rata panjang 29 mikron ujung posterior biasanya runcing hamper menyerupai titik dan memiliki flagellum yang bebas memanjang. Dua jenis yang bentuk sangat mirip adalah : Trypanosoma gambiense yang menyebabkan penyakit tidur ditemukan pada sapi dan babi. Dan Trypanosoma rhoedesiense ditemukan pada rusa. Trypanosoma brucei ditularkan melalui lalat Tsetse yang berkembang biak didalam darah dan limfe dan kemudian menembus darah-otak. Seluruh siklus hidup Tsetse membutuhkan waktu 15-35 hari. Trypanosoma brucei dapat ditularkan secara mekanis dengan tripanosoma segar yang didapat pada proboscis. Karnivora dapat terinfeksi dengan memakan herbivore yang terinfeksi.  Trypanosoma evansi Terdapat didaerah Afrika Utara, Asia dan Amerika Tropis. Ditemukan pada semua hewan peliharaan dan pada hewan liar, menyebabkan penyakit sura. Ditemukan dalam darah dan limfe dan tidak menyebabkan ensefalitis. Panjang 15-34 mikron, tubuh langsing atau bentuk yang sedang maupun bentuk buntak. Trypanosoma evansi berkembang biak dengan pembelahan ganda yang memanjang dalam darah dan ditularkan secara mekanis melalui lalat penggigit. Vektornya berupa Tabanus (Lalat kuda) dan Chryops (Lalat rusa) dan tidak terjadi perkembangan siklus dalam vector. Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies). Agen T. evansi telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan (Jones TW et al.,1996 ; Powar RM et al., 2006). Pada wilayah yang berbeda tersebut, parasit ini dapat menyerang berbagai spesies hewan. Di Amerika Selatan, kasus penyakit Surra paling sering ditemukan pada kuda. Hewan yang terinfeksi di Cina umumnya kuda, kerbau, dan rusa. Di Timur Tengah dan Afrika parasit ini menyerang unta, dan di Asia Tenggara penyakit Surra dapat ditemukan pada kuda, sapi, dan kerbau. Trypanosoma evansi diperkirakan masuk ke Asia Tenggara melalui ternak impor asal India (Payne et al., 1991). Kasus penyakit Surra pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1897 pada populasi kuda di Pulau Jawa. Selanjutnya wabah Surra dilaporkan terjadi pada sapi dan kerbau di Jawa Timur. Tindakan pengendalian wabah Surra pada waktu itu antara lain isolasi, pemotongan paksa ternak yang terinfeksi dan membuat perapian di sekitar kandang untuk menghindarkan ternak dari gigitan lalat. Upaya tersebut kurang berhasil sehingga dalam jangka waktu 10 tahun seluruh dataran rendah di Pulau Jawa dilaporkan endemik Surra. Perpindahan ternak secara ekstensif, baik di dalam pulau Jawa maupun antarpulau di Indonesia merupakan faktor pendukung penyebaran agen T. evansi. Lalat berperan besar dalam penularan trypanosomiasis, terutama pada saat ternak terinfeksi dibawa masuk ke daerah yang bebas trypanosoma. Sejak pertama kali dilaporkan, kasus penyakit Surra telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Studi serologi (Payne RC et al.,1991) mengkonfirmasi bahwa agen Trypanosoma evansi telah tersebar dan Surra endemik di seluruh Indonesia. Manifestasi klinis penyakit Surra pada hewan bervariasi dimana infeksi bisa berlangsung akut, subklinis dan kronis sehingga menimbulkan dampak ekonomi. Kerugian ekonomi secara langsung terutama akibat kematian ternak dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Kerugian secara tidak langsung akibat infeksi subklinis atau kronis dan kondisi penurunan imunitas (imunosupresi) akibat penyakit Surra serta penurunan produksi daging dan susu. Kerugian ekonomi akibat penyakit Surra di benua Asia mencapai US$ 1,3 milyar pertahun akibat penurunan produksi daging dan susu. Namun sebenarnya angka itu bisa menjadi lebih besar karena jumlah kasus penyakit Surra yang dilaporkan biasanya hanya merupakan angka kematian, sedangkan kejadian infeksi subklinis atau kronis biasanya tidak dilaporkan. Di Indonesia misalnya, keguguran (abortus), gangguan siklus berahi pada induk betina (anestrus), penurunan bobot badan dan kematian ternak telah menyebabkan kerugian nasional yang diperkirakan mencapai US$ 22,4 Milyar per tahun (Luckins AG, 1998). Penyebab Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat bentukan yang disebut kinetoplast. Trypanosoma evansi memiliki morfologi yang mirip dengan trypanosoma lainnya seperti T. equiperdum, T. brucei, T. gambiense dan T. rhodesiense. Permukaan tubuh T. evansi diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein yang dapat berubah-ubah bentuk (variable surface glycoprotein). Dengan kemampuan glikoprotein yang dapat berubah bentuk, maka T. evansi dapat memperdaya sistem kekebalan tubuh inang (host). Konsekuensinya akan terjadi variasi antigenik (antigenic variation) dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi yang berbeda-beda sesuai dengan protein permukaan yang ditampilkan oleh T. evansi. Di alam terdapat berbagai jenis trypanosoma pada hewan (animal trypanosomes) yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu non patogen dan patogen. Trypanosoma lewisi merupakan trypanosoma non patogen yang ditemukan pada tikus dan ditularkan melalui pinjal (rat flea). Jenis trypanosoma yang patogen diantaranya Trypanosoma brucei yang menyebabkan penyakit Nagana pada ternak di Afrika, Trypanosoma equiperdum diketahui menyebabkan penyakit Dourine pada kuda yang ditularkan melalui perkawinan (venereal disease). Trypanosoma equinum yang ditularkan secara mekanis oleh lalat Tabanus dapat menyebabkan penyakit Mal de Caderas pada kuda di Amerika Selatan. Di Afrika, Trypanosoma vivax dan Trypanosoma congolense yang ditularkan oleh lalat tsetse dapat menginfeksi ternak dan manusia (human trypanosomiasis). Adapun Trypanosoma evansi yang ditularkan secara mekanik oleh lalat tabanus dapat menyebabkan penyakit Surra pada kuda, sapi dan kerbau. Cara Penularan Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang mengandung parasit T. evansi. Penularan yang paling utama terjadi secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous flies). Di Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca, Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen T. evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup di dalam tubuh lalat. Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan melalui air susu dan selama masa kebuntingan pernah pula dilaporkan (OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan lama di luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan (daging dan susu) dapat diabaikan. Penularan melalui peralatan kandang seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta alat-alat medis misalnya jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan tersebut terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosoma. Kejadian Penyakit di Dunia dan Indonesia Di beberapa negara, insidensi penyakit Surra mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada musim hujan. Hal ini terjadi karena populasi lalat penghisap darah meningkat pada musim hujan. Selain faktor musim, beban kerja yang berlebih pada ternak, kurangnya nutrisi dan stress lingkungan juga berkaitan dengan penyakit Surra. Di Indonesia, wabah Surra terjadi secara sporadik. Walaupun terkadang wabah terjadi lokal, namun mortalitas (kematian) ternak yang terinfeksi cukup tinggi. Gambaran lain tentang penyakit Surra di Indonesia adalah masih berlangsungnya perpindahan hewan dari daerah yang tertular Surra ke daerah yang bebas atau sebaliknya. Penyebaran penyakit Surra yang luas di hampir seluruh wilayah Indonesia dan kejadian penyakit yang sporadik memperkuat dugaan adanya enzootic stability antara agen T. evansi dan inang. Hal ini artinya penyakit Surra dapat muncul kapan saja tergantung dengan faktor lingkungan, kondisi imunitas hewan dan populasi lalat (vektor). Gejala Klinis Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata - rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah (parasitemia). Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat tinggi variasinya selama masa infeksi : tinggi pada awal infeksi, rendah selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan pembawa agen (carrier). Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru, limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pencegahan Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan cara pengendalian populasi lalat. Pencegahan terhadap masuknya hewan yang terinfeksi ke dalam populasi atau daerah yang belum pernah terinfeksi juga harus dilakukan. Tindakan desinfeksi tidak serta merta mencegah penularan penyakit karena pada prinsipnya penularan agen T. evansi terjadi melalui gigitan lalat. Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit belum dapat dilakukan karena hingga saat ini belum tersedia vaksin trypanosomiasis. Hal ini berkaitan dengan kemampuan trypanosoma mengubah variasi glikoprotein permukaan (variable antigenic type/VAT) dalam waktu yang singkat (OIE, 2009) sehingga dapat menghindari respon imunitas tubuh. Pengobatan Sediaan diminazene (Surravet, Ganaseg, Berenil) banyak digunakan dalam pengobatan penyakit Surra, namun infeksi masih dapat muncul pasca pengobatan. Sediaan lain seperti isometamidium chloride (Samorin) mampu mengurangi sirkulasi parasit (parasitemia) pada sapi dan kerbau. Sediaan suramin (Naganol, Antrypol) dianggap sebagai drug of choice dalam terapi penyakit Surra sehingga, di Indonesia misalnya, akibat penggunaan yang luas dan dalam waktu yang lama telah dilaporkan terjadinya resistensi terhadap suramin. Selain pada hewan, suramin juga digunakan dalam pengobatan pada pasien manusia. Sediaan suramin yang diberikan secara intra vena selama lima minggu (Powar RM et al., 2006) terbukti efektif dimana parasit tidak ditemukan dalam sirkulasi darah (parasitemia negatif) serta diikuti dengan perbaikan kondisi pasien. Obat lain yang tergolong jenis baru untuk terapi penyakit Surra adalah cymelarsan dan melarsomine. Percobaan yang dilakukan di Balai Penelitian Veteriner-Bogor untuk mengevaluasi kerja obat cymelarsan membuktikan bahwa obat tersebut efektif mengatasi infeksi T. evansi pada sapi dengan dosis rata-rata 0,75 mg/kg (Payne et al., 1994), tetapi belum terbukti pada ternak selain sapi dan kerbau. Pada penggunaan secara injeksi intra muskular, sediaan melarsomine cepat diserap tubuh dan dalam waktu 6 jam tidak ditemukan sirkulasi obat ini dalam darah. Penggunaan melarsomine pada ternak dapat ditoleransi dengan baik dan obat ini merupakan obat yang paling aman digunakan pada kuda secara intra muskular (Wernery et al., 2001).  Trypanosoma equinum Terdapat di Amerika Selatan yang menyebabkan mal de Caderas pada kuda. Penyakit ini mirip dengan surra.  Trypanosoma equperdum Terdapat diseluruh dunia dan menyebabkan penyakit pada kuda dan keledai yang disebut Dourine. Ditemukan dalam darah dan Limfe. Menyebabkan penyakit kelamin dan ditularkan dari satu hewan ke hewan lainnya melalui perkawinan.  Trypanosoma congolense Ditemukan di Afrika dan merupakan Trypanosoma yang paling sering menyebabkan penyakit nagana. Parasit ini ditemukan pada sapid ah hewan peliharaan dan juga pada hewan liar. Hanya terdapat didalam darah dan tidak masuk kedalam Limfe atau system saraf pusat. Bentuk dalam aliran darah adalah kecil dengan panjang 8-20 mikron memiliki selaput undulasi yang jarang terlihat. Parasit ini ditularkan oleh gigitan lalat Tsetse atau kadang-kadang secara mekanis oleh lalat penggigit lainnya.  Trypanosoma vivax Menyebabkan penyakit yang patogenitasnya agak ringan pada sapid an hewan peliharaan lainnya kecuali babi dan anjing. Memiliki panjang 20-27 mikron dengan ujung posteriornya membulat, sebuah flagellum bebas. Penularannya melalui gigitan lalat Tsetse, tetapi lalat kuda dan Tabanidae yang lain juga sebaga vector mekanis  Trypanosoma avium Terdapat dalam darah beberapa jenis burung peliharaan dan burung liar. Tampaknya tidak pathogen. Memiliki bentuk yang sangat polimorfik dengan panjang 20-60 mikron atau bahkan lebih panjang dan memiliki sebuah flagellum bebas. Vektornya adalah lalat penghisap darah, termaksuk nyamuk, simuliida dan hippoboscida. Perkembang biakannya hanya terjadi dalam vector.  Trypanosoma gambiense Jenis penyakit tidur Afrika Barat (Gambia) yang disebabkan oleh Trypanosoma gambiense pertama kali dilaporkan oleh Forde di tahun 1902 ketika organisme ini ditemukan dalam darah seorang kapten pelaut Eropa yang bekerja di Sungan Gambia( Kean dkk, 1978 ). Morfologi Bentuk trypanosoma (trypomastigot) dapat ditemukan dalam darah, cairan serebrospinal (CSS), aspirasi kelenjar limfe, dan aspirasi caian dari chancre trypanosomal yang terbentuk pada tempat gigitan lalat tsetse. Bentuk tripomastigot berkembang biak secara belah pasang longitudinal. Organisme ini bersifat pleomorfik, pada satu sediaan hapus darah dapat terlihat aneka bentuk tripanosomal. Bentuknya berfariasi dari yang panjang, 30 µm atau lebih, langsing, dengan flagel yang panjang (tripomastigot ), sampai pada bentuk yang pendek kurang lebih 15 µm, gemuk tanpa flagel yang bebas. Dalam darah bentuk trypanosoma tidak berwarna dan bergerak dengan cepat diantara sel darah merah. Membran bergelombang dan flagel mungkin terlihat pada organisme yang bererak lambat. Bentuk tripomastigot panjangnya 14 sampai 33 µm dan lebar 1,5 sampai 3,5 µm. dengan pulasan Giemsa dan Wright, sitoplasma tampak berwarna biru muda, dengan granula yang berwarna biru tua, mungkin terdapat vakuola. Inti yang terletak di tengah berwarna kemerahan. Pada ujung posterior terletak kinetoplas, yang juga berwarna kemerahan. Kinetoplas berisi benda parabasal dan bleparoflas, yang tidak mungkin dibedakan. Flagel muncul dari blefaroplas, demikian juga membran bergelombang. Flagel berjalan sepanjang tepi membran bergelombang sampai membaran bergelombang bersatu dengan badan trypanosoma pada ujung anterior organisme. Pada titik ini flagel menjadi bebas melewati badan trypanosoma. Bentuk trypanosoma akan ditelan lalat tsetse (Glosinna) ketika mengisap darah. Organisme akan berkembang biak di dalam lumen “mid gut“ dan “hind-gut“ lalat. Setelah kira – kira 2 minggu, organisme akan bermigrasi kembalai ke kelenjar ludah melalui hipofaring dan saluran kelenjar ludah; organisme kemudia akan melekat pada sel epitel saluran kelenjar ludah dan mengadakan transpormasi ke bentuk epimastigot. Pada bentuk epimastigot, inti terletak posterior dari kinetoplas, berbeda dengan tripomastigot, dimana inti terletak anterior dari kinetoplas. Siklus Hidup Organisme terus memperbanyak diri dan bentuk metasiklik (infektif) selama 2-5 hari dalam kelenjar ludah lalat tsetse,. Dengan terbentuknya metasiklik, lalat tsetse tersebut menjadi infektif dan dapat memasukkan bentuk ini dari kelenjar ludah ke dalam luka kulit pada saat lalat mengisap darah lagi. Seluruh siklus perkembangan dalam lalat tsetse membutuhkan waktu 3 minggu, Trypanosoma gambiense ditularkan oleh Glossina palpalis dan Glossina tachinoides, baik lalat tsetse betina maupun jantan dapat menularkan penyakit ini. Pada waktu darah mamalia dihisap, oleh lalat tse tse yang infektif (genus Glossina) maka akan memasukkan metacyclic trypomastigotes kedalam jaringan kulit. Parasit–parasit akan masuk ke dalam sistem lymphatic dan ke dalam aliran darah (1).di dalam tubuh tuan rumah, mereka berubah menjadi trypomastigotes di dalam aliran darah. (2), dan ini akan dibawa ke sisi lain melalui tubuh, cairan darah kaya yang lain (e.g., lymph, spinal fluid), dan berlanjut bertambah banyak dengan binary fission (3). Segala siklus hidup dari African Trypanosomes telah ditampilkan pada tingkat ektra seluler. Lalat tsetse menjadi infektif dengan trypomastigotes dalam aliran darah ketika mengisap darah mamalia yang terinfeksi (4), (5). Pada alat penghisap lalat parasit berubah menjadi procyclic trypomastigotes, bertambah banyak dengan binary fission (6), meninggalkan alat penghisap, dan berubah menjadi epimastigotes (7). Air liur lalat kaya akan epimastigotes dan pertambahan banyak berlanjut dengan binary fission (8). Siklus dalam tubuh lalat berlangsung selama kurang lebih 3 minggu. Manusia merupakan reservoir utama untuk Trypanosoma gambiense, tetapi spesies in dapat selalu ditemukan pada binatang. Gejala Klinis Setelah digigit oleh lalat tsetse yang infektif, stadium tripomastigot metasiklik yang masuk ke dalam kulit akan memperbanyak diri serta menimbulkan reaksi peradangan setempat. Beberapa hari kemudian, pada tempat tersebut dapat timbul nodul atau chancre (3-4 cm). Lesi primer ini tidak menetap dan akan menghilang setelah 1 – 2 minggu, nodul ini seringkali terlihat pada orang Eropa tetapi jarang pada penduduk setempat di daerah endemi. Bentuk tripomastigot dapat ditemukan dalam cairan aspirasi ulkus tersebut. Bentuk tripomastigot dapat masuk ke dalam aliran darah, menyebabkan parasetemia ringan tanpa gejala klinik dan dapat berlangsung selama berbulan–bulan. Pada keadaan ini, parasit mungkin sulit ditemukan meskipun dengan pemeriksaan sediaan darah tebal. Selama masa ini, infeksi dapat sembuh sendiri tanpa gejala klinik atau kelainan pada kelenjar limfe. Gejala pertama akan terlihat jelas bila terjadi invasi pada kelenjar limfe, diikuti dengan timbulnya demam remiten yang tidak teratur dan keluar keringat pada malam hari. Demam sering disertai dengan sakit kepala, malaise dan anoreksia. Periode demam yang berlangsung sampai satu minggu akan diikuti dengan periode tanpa demam yang waktunya bervariasi dan kemudian timbul lesi periode demam yang lain. Banyak tripomastiot ditemukan dalam peredaran darah pada saat demam tetapi pada saat tanpa demam jumlahnya sedikit. Kelenjar limfe yang membesar konsistensinya lunak, tidak nyeri. Meskipun dapat mengenai kelenjar limfe dimana saja, kelenjar limfe di daerah servikal posterior merupakan tempat yang paling sering terinfeksi (tanda Winterbottom) Bentuk tripomastigot dapat diaspirasi dari kelenjar limfe yang membesar. Selain kelenjar limfe, terjadi juga pembesaran pada limpa dan hati. Pada Trypanosomiasis Gambia, stadium darah–limfe dapat berlansung bertahun–tahun sebelum timbul sindroma penyakit tidur. Pada orang berkulit cerah, ruam kulit berbentuk eritema yang tidak teratur (irregular erytematous skin rash) Eretema multiforme dapat terjadi 6 – 8 minggu setelah terjadi infeksi. Ruam akan hilang dalam beberapa jam, dan timbul serta hilangnya ruam ini terjadi pada periode demam. Sensasi terhadap rasa sakit pada pasien dapat berkurang. Stadium penyakit tidur timbul setelah bentuk tripomstigot menginvasi susunan saraf pusat (SSP). Perubahan tingkah laku dan kepribadian terlihat selama invasi SSP. Gejala–gejala trypanosomiasis Gambia adalah meningoensepalitis progresif, apati, kebingungan, kelemahan, hilangnya koordinasi, dan somnolen. Pada fase terminal penyakitnya, pasien menjadi emasiasi, jatuh ke dalam koma dan meninggal, biasanya akibat infeksi sekunder. Penekanan daya tahan tubuh pada pasien trypanosomiasis Gambia ditunjukkan dengan menurunnya kekebalan seluler dan humoral. Diagnosis Tanda–tanda kelainan fisik dan riwayat klinik sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Gejala–gejala diagnostik termasuk demam yang tidak teratur, pembesaran kelenjar limfe (terutama di bagian segitiga servikal posterior, yang dikenal dengan tanda Winterbottom), berkurangnya sensori terhadap rasa sakit (tanda Kerandel), dan ruam kulit berupa eritema. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan bentuk tripomastigot dalam darah, aspirasi kelenjar limfe, dan CSS. Adanya periodesitas, menyebabkan jumlah parasit dalam darah akan berbeda–beda dan sejumlah teknik harus digunakan untuk menemukan bentuk tripomastigot. Selain sedian darah tipis dan tebal, dianjurkan menggunakan metode konsentrasi “buffy coat“ untuk menemukan parasit apabila jumlahnya sedikit. Parasit dapat ditemukan dalam sediaan darah tebal apabila jumlahnya lebih dari 2000/ ml, lebih dari 100/ml dengan konsentrasi pada tabung hematokrit, dan lebih dari 4/ ml dengan tabung penukar anion (anion exchange columm) Lumsden dkk, 1981. Pemeriksaan CSS harus dilakukan dengan medium sentrifuge. Bila jumlah tripomastigot dalam darah tidak terdeteksi, bentuk ini mungkin masih dapat ditemukan pada aspirasi kelenjar limfe yang meradang, namun untuk menemukannya secara histopatologi tidaklah praktis. Specimen darah dan CSS harus diperiksa selama pengobatan dan 1 hingga 2 bulsn setelah pengobatan. Pemeriksaan serologis yang banyak digunakan untuk skrining epidemiologi adalah tes imunofluoresensi tidak langsung, ELISA, dan hemaglutinasi tidak langsung (Kakoma et.all, 1985; de Raadt dan Seed, 1977). Masalah besar pada serodiagnostik di daerah endemi yaitu banyaknya orang dengan kadar antibodi yang tinggi karena terpapar oleh tripanosoma yang tidak infektif bagi manusia. Konsentrasi IgM dalam serum dan CSS kurang mempunyai nilai diagnostik. Isolasi Trypanosoma gambiense pada bintang percobaan dalam laboratorium yang kecil biasanya tidak berhasil, berbeda dengan Trypanosoma rhodesiense yang dapat menginfeksi binatang. Kultur umumnya tidak praktis untuk diagnostik.  Trypanosoma rhodesiense Trypanosoma rhodesiense erat hubungannya dengan Trypanosoma gambiense, morfologinya sulit dibedakan. Stephans dan fantham pada tahun 1910 menemukan Trypanosoma rhodesiense dalam darah seorang pasien penyakit tidur. Mereka membedakannya dari Trypanosoma gambiense berdasarkan vektor penularnya, virulensinya dalam tikus, dan ditemukannya varian morfologi yang belum ada pada Trypanosoma gambiense. Trypanosoma rhodesiense atau penyakit tidur Afrika Timur distribusinya lebih terbatas daripada Trypanosoma gambiense, yaitu ditemukan di Afrika Timur bagian tengah. Infeksinya lebih cepat fatal daripada infeksi Trypanosoma gambiense, dan binatang buruan seperti rusa semak (bushbuck) merupakan hospes reservoar alamiahnya. Morfologi dan Siklus Hidup Siklus hidup dari Trypanosoma rhodesiense sama dengan Trypanosoma gambiense. Lalat tse tse sebagai penularan Trypanosoma rhodesiense adalah jenis Gloosina pallidipes dan Gloosina morsitans. Morfologi Trypanosoma rhodesiense pada lalat tse tse dan manusia sama dengan Trypanosoma gambiense, kecuali bila diinokulasikan pada binatang percobaan, bentuk inti posterior lebih sering ditemukan. Gejala Klinis Timbulnya kelainan yang disebabkan oleh Trypanosoma rhodesiense lebih cepat, dan lebih berat. Proses patologis pada stadium permulaan, sesuai dengan infeksi Trypanosoma gambiense; namun prosesnya lebih progresif sehingga kematian dapat terjadi sebelum timbul kelainan SSP yang berat, meskipun demikian kelainan pada SSP timbul dini. Masa inkubasinya pendek, pada permulaan akan muncul tripomastigot dan jumlahnya akan bertambah dalam darah. Kelainan pada kelenjar limfe kurang terlihat, tanda Winterbottom mungkin tidak ada.lebih sering timbul, demam paroksismal, miokarditis atau gejala kuning dan pasien lebih anemis. Pada Tryponosomiasis gambia dapat timbul miokarditis, tetapi pada Trypanosomiasis rhodesia lebih sering dan berat. Diagnosis Teknik yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk menemukan Trypanosomiasis Gambia, hanya saja bentuk tripomastigot lebih banyak jumlahnya dalam darah pada bentuk Rhodesia. Trypanosoma rhodesiense lebih mudah dibiak daripada Trypanosoma gambiense, namun metode pembiakan bukan merupakan pendekatan yang praktis untuk diagnosis. Epidemiologi dan Pencegahan Insiden dari infeksi Trypanosoma rhodesiense lebih sedikit dibanding Trypanosoma gambiense dan fokus distribusinya lebih sempit, hal ini dikarenakan lalat tse tse, vektor dari Trypanosomiasis rhodesia adalah umumnya pengisap darah binatang buruan dan dapat menularkan penyakit ini dari manusia ke manusia atau dari hewan ke manusia. Infeksi Trypanosoma rhodesiense mengakibatkan penyakit akut disbanding kronis, pembawa penyakit atau karier bukanlah merupakan sumber penularan seperti pada Trypanosomiasis gambia. Penyakitnya merupakan bahaya bagi orang yang bekerja di daerah perburuan dan ancaman bagi pengunjung taman perburuan. Trypanosoma rhodesiense dapat diisolasi dari berbagai jenis binatang buruan (Bushbuck, Hertebeeste, Singa dll ) dan binatang peliharaan (sapi, domba). Trypanosomiasis rhodesia merupakan zoonosis, sehingga usaha pengendaliannya lebih sulit daripada Trypanosomiasis gambia. Mengurangi dengan cara membunuh binatang buruan merupakan cara pengendalian yang utama. Usaha lain yang dilakukan adalah mengurangi kontak lalat dengan manusia di daerah endemi, mengurangi semak belukar di sekitar tempat tinggal manusia, penyemprotan dengan insektisida, jebakan lalat, dan pengobatan pencegahan untuk binatang peliharaan. Di dunia dimana trypanosomiasis menjangkit lebih dari 10,000 kasus telah dilaporkan pada buku tahunan di Africa yang di kelompokkan menjadi 2 wilayah regional, yaitu : 1) SubSaharan Africa terdiri dari ; Angola, Benin, Burkina Faso, Burundi, Cameroon, Cape Verde, Central African Republic, Chad, Comoros, Congo, Democratic Republic of the Congo, Equatorial Guinea, Ethiopia, Gabon, Ghana, Guinea, Guinea-Bissau, Ivory Coast, Kenya, Liberia, Madagascar, Malawi, Mali, Mauritius, Mozambique, Nigeria, Reunion, Rwanda, Sao Tome and Principe, Senegal, Seychelles, Sierra Leone, Sudan, Togo, Uganda, United Republic of Tanzania, Zambia dan Zimbabwe. The transmission rate is very high in north-western Uganda, northern Angola, The Democratic Republic of the Congo (mainly Equateur and Bandundu) and southern Sudan. Ada resiko berarti dari infeksi untuk para pelancong yang berkunjung atau bekerja di daerah pedesaaan. 2) Southern Africa terdiri dari : Botswana dan Namibia. Trypanosoma rhodesiense adalah yang terbesar di bagian timur dan pusat Negara, sedangkan Trypanosoma gambiense terbesar menyerang di bagian barat wilayah negara Africa. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pada jenis tripanosoma terdapat 3 jenis spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manuisa yaitu Tripanosoma Rhodosiense, Tripanosoma gambiense, dan Tripanosoma cruzi. Spesies ini ditemukan didaerah diafrika tropic yaitu antara garis lintang utara 15 derajat dan garis lintang selatan 18 derajat. Penyakit yang disebabkan oleh Tripanosoma Rhodosiense sangat jarang tetapi penyakit ini sangat berbahaya. Penyakit Tripanosoma Cruzi ditemukan di Amerika selatan, Amerika tengah, dan Amerika serikat. (DIAN MP BIOLOGIE UNSYIH/ 08) DAFTAR PUSTAKA Cross JH. 1986. Human Protozoa parasites of the gastrointestinal tract. Howell MJ. Neva FA, 1994. Brown HW. Basic Clinical Parasitology. Prentice Hall International. Sriasi Gandahusada. 1991. Prevalensi Protozoa usus pada Sampel Tinja di Jakarta. Jakarta: Medika. WHO, Geneve. 1993. Tropical Disease Research Progress. Eleventh programmer report. Abenga JN, Enwezor FNC, Lawani FAG, Osue HO, Ikemereh ECD. 2004. Trypanosome Prevalence in Cattle in Lere Area in Kaduna State, North Central Nigeria. Revue Elev. Med. vet. Pays trop. Vol. 57 (1-2) : 45-48. Chappuis F, Loutan L, Simarro P, Lejon V, Büscher P. 2005. Options for Field Diagnosis of Human African Trypanosomiasis. Clin Microbiol Rev Vol. 18 (1) : 133-146. Davison HC, Thrusfield MV, Husein A, Muharsini S, Partoutomo S, Rae P, Luckins AG. 2000. The Occurrence of Trypanosoma evansi in Buffaloes in Indonesia, Estimated Using Various Diagnostic Tests. Epidemiology and Infection Vol. 124 (1) : 163-172. Direktorat Jenderal Peternakan-Departemen Pertanian. 1993. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular Jilid 1. Departemen Pertanian : 81-92. Eisler M, Holmes P. 1997. Field testing ELISA to help control trypanosomiasis. http://www.dfid-ahp.org.uk/index.php?section=4&subsection=99. Jones TW, Payne RC, Sukanto IP, Partoutomo S. 1996. Trypanosoma evansi in the republic of Indonesia. Proceedings of the first Internet Conference on Salivarian Trypanosomes. FAO animal production and health paper 136. Luckins AG. 1996. Immunity to Trypanosoma evansi infections in ruminants. http://www.dfid-ahp.org.uk/index.php?section=4&subsection=86. Luckins AG. 1998. Studies on the control and economic impact of trypanosomiasis in livestock in Indonesia. http://www.dfid-ahp.org.uk/index.php?section=4&subsection=107. Nantulya VM. 1990. Trypanosomiasis in domestic animals: the problems of diagnosis. Revue Scientifique et Technique des Office International des Epizooties Vol. 9 (2) : 357–367. Office International des Epizootics [OIE]. 2009. Manual of Diagnostic Tests and Vaccine for Terrestrial Animals Vol. 1 : 352–360. Payne RC , Sukanto IP, Djauhari D, Jones TW. 1991.Trypanosoma evansi infection in bovine and buffalo calves in Indonesia. Vet Parasitol Vol. 38 (2–3) : 253-6. Powar RM, Shegokar VR, Joshi PP, Dani VS, Tankhiwale NS, Truc P, Jannin J, Bhargava A. 2006. A rare case of human trypanosomiasis caused by Trypanosoma evansi. Indian J Med Microbiol Vol. 24 : 72-4. Reid SA, Husein A, Copeman DB. 2001. Evaluation and improvement of parasitological tests for Trypanosoma evansi infection. Veterinary Parasitology Vol. 102 : 291–297. Ross CA. 1996. Drug resistance in trypanosomes of domestic animals. http://www.dfid-ahp.org.uk/index.php?section=4&subsection=89 . Wernery U, Zachariah R, Mumford JA, Luckins T. 2001. Preliminary evaluation of diagnostic tests using horses experimentally infected with Trypanosoma evansi. Veterinary Journal Vol. 161 : 287–300.

4 komentar:

  1. lucu blognya,,info nya juga cukup lengkap, tapi jangan monoton gitu,bagusnya dibikin sub bab

    BalasHapus
  2. Nice artikel non, tp kenapa backgroundnya merah ? perih bacanya

    BalasHapus